Oleh ; Ainur Rafiq Sophiaan.SE.M.Si*)
Ketika diberitakan ada sekitar 1.300 warga Mimika, Papua, yang disandera oleh sekelompak orang bersenjata dari gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka ) awal November lalu, Kapolda Papua Irjen Polisi Boy Rafli Amar mengatakan, para penyandera adalah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Sama sekali tidak ada indikasi mengarah ke sebutan terorisme. Padahal, upaya pembebasan di sekitar area tambang Freeport itu sudah sampai melibatkan aparat TNI.
Sebaliknya, pada peristiwa penyerangan dan pembakaran Mapolres Dharmasraya, Sumatera Utara (12/11) yang dilakukan oleh EFA (24) dan ES (25) dengan cepatnya Kapolres Dhramasraya AKBP Roedy Yoelianto menyebut kedua pelaku adalah anggota jaringan teroris dengan indikasi teriakan takbir, thoghut, dan kata jihad di lembaran kertas di saku salah satu pelaku yang ditemukan setelah aparat menembak mati keduanya (keterangan Kapolres dalam wawancara live Siaran Berita Pagi TVOne, Senin (13/11).
Dua fenomena di atas yang kejadiannya tidak berselang lama sesungguhnya pantas memunculkan pertanyaan besar dari masyarakat luas. Pertama, mengapa dalam kejadian yang lebih dramatis dan berskala besar seperti penyanderaan oleh OPM aparat sama sekali menghindari sebutan teror, teroris, dan terorisme. Padahal, sepak terjang OPM sejauh ini tujuannya sangat jelas ingin memisahkan diri dari NKRI dengan jalan menjadikan warga sebagai tameng.
Kedua, muncul kecurigaan yang sangat kuat dengan secepat kilat mengidentifikasi pelaku pembakaran Mapolres Dharmasraya sebagai kelompok teroris dengan hanya indikasi teriakan takbir dan thoghut serta tulisan jihad. Seolah ketiga kata itu identik dengan teroris. Yang membuat masyarakat selalu menyimpan teka-teki selama ini adalah dalam peristiwa yang diduga dilakukan teroris seperti itu pelaku selalu tertembak mati sehingga mempersulit pendalaman akar dan jaringan gerakan mereka.
Penggunaan kata teroris di satu peristiwa dan sebutan KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) pada kasus lainnya sebenarnya merupakan sebutan yang bisa membentuk opini berbeda. Sudah pasti penyebutan itu bukan tidak memiliki motif dan maksud tertentu terlepas dari benar tidaknya motif tersebut. Karena kedua sebutan itu akan memiliki implikasi politis dan yuridis yang berlainan sekali. Sebutan kata teroris pasti memiliki bobot politik dan hukum yang jauh lebih berat walaupun dalam kenyataannya mungkin seharusnya terbalik.
Pelabelan, pembingkaian, dan pelintiran.
Dalam diskursus komunikasi penyebutan oleh aparat keamanan itu biasa dinamakan labelling, yakni proses penggunaan label/nama/cap pada seseorang atau sekelompok orang yang mengisyaratkan karakter, identitas, dan basis sosialnya. Lemert dan Herbert Meid, pakar komunikasi, bahkan menyebut labelling itu sebagai upaya penyimpangan yang kemudian pihak yang diberikan label cenderung mengikuti penyimpangan itu. Seseorang yang diberikan label tertentu biasanya akan dipersepsi orang lain seperti label itu. Akibatnya, tak sedikit pelabelan ini justru memicu potensi tindakan baru dan sama di kemudian hari.
Jika dikaitkan dengan peranan media massa dalam konteks ini, maka teknik labelling biasa dipakai seirirng dengan teknik framing (pembingkaian) dan spinning (pelintiran) dalam kebijakan redaksional (editorial policy) masing-masing media. Sebagai contoh, sudah sejak puluhan tahun lalu Pers Barat setiap menulis warga Palestina dalam kaitan dengan Israel selalu membuat label dissident (pemberontak) dan semacamnya. Mereka juga selalu melihat sisi kelemahan dan kesalahan warga Palestina (framing), dan but not least Pers Barat tak berhenti selalu memutarbalikkan dan atau mereduksi fakta alias plintiran (spinning).
Dalam arena perang opini dewasa ini dengan memanfaatkan kemajuan IT dan media sosial, ketiga cara itu dipakai sebagian media massa, orang dan kelompok tertentu untuk menyerang Islam dan menyudutkan umat Islam. Yang menyedihkan adalah media-media arus utama (mainstream) justru berada di garda depan dalam pembentukan opini dengan ketiga cara tersebut. Bisa jadi karena sebagian media besar sudah dibeli mogul-mogul media yang celakanya bagian dari partai politik. Kebijakan pemberitaan mereka sangat tendensius, sinis, dan insinuatif bila mengabarkan kegiatan umat islam.
Pantas, kemudian muncul gerakan-gerakan spontan dan tidak terorganisir dari masyarakat Islam yang merasa marwah dan aspirasinya tersumbat dan dipelintir. Contoh paling menyolok adalah gerakan Aksi Bela Islam dalam beberapa rangkaian, utamanya Aksi Bela Islam III pada 2 Desember 2016 lalu. Media-media besar memberitakan peristiwa monumental itu sejak sebelum, saat dan sesudahnya sangat miring. Sama sekali tidak mencerminkan kaidah jurnalistik, seperti berimbang, klarifikasi, netral, dan faktual. Pada titik ini media massa telah menjadi alat pengusaha sekaligus pengusaha. Tragedi yang lebih dahsyat dibandingkan di Barat.
Pada bagian lain perang opini juga terjadi sangat massif dari berbagai jurusan dengan media corongnya. Peserta Aksi Bela Islam disebutnya sebagai kelompok intoleran, radikal, ekstrem, antipluralisme, anti-Bhinneka Tunggal Ika, sampai anti-Pancasila. Kesalahan secuil saja umat Islam, andai itu memang ada, akan di-blow up habis oleh media imparsial itu. Dalam hal kontestasi Pilkada DKI tampak sekali bagaimana media membingkai (framing) Anies-Sandiaga sebagai pasangan Islam ekstrem dan Ahok-Djarot sebagai pasangan kebhinnekaan. Ala kulli haal, gerakan ABI direduksi menjadi gerakan pemenangan Anies-Sandi. Bukan Bela al-Qur’an. Sebuah teknik pelabelan, pembingkaian, dan pelintiran sekaligus yang amat telanjang !
Media tradisional dan modern gagal dikuasai
Dalam pertempuran dan perebutan opini ini apakah umat Islam kemudian menyerah dan terprovokasi dengan mudah ? Tampaknya kesadaran informatif umat Islam sudah relatif tinggi meskipun dalam beberapa hal masih harus dicerahkan. Paling kurang, ABI dalam beberapa jilid di Jakarta dan daerah-daerah berakhir damai, lancar, santun dan aman mengisyaratkan adanya misi tuntutan keadilan dan kebenaran yang hakiki. Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian yang dalam banyak komentarnya dirasakan kurang simpatik akhirnya harus mengakui bahwa ABI tidak menyisakan sepotong dahan pun yang jatuh. Semua berjalan tertib dan terkendali.
Pada saat media-media besar konvensional (koran, teve, radio) telah dikooptasi penguasa dibarengi jalan penggembosan dan penghadangan di beberapa titik menuju Jakarta, toh akhirnya spirit ABI mengalir bagai air bah yang melimpah ruah. Masyarakat Islam mengalir deras melalui berbagai moda transportasi setelah mendapat “undangan” dari GNPF MUI yang tersebar luas dari akun-akun media sosial. Siapa yang bisa membendung jaringan informasi media modern ini ? Umat Islam tidak terpengaruh hoax dan berita-berita pelintiran yang mendekonstruksi gerakan. Belum lagi forum-forum masjid dan majelis-majelis taklim di seluruh Indonesia menjadi media komunikasi tradisional penyebar undangan GNPF tadi.
Fenomena perang opini dan berita ini mengingatkan pada peristiwa Tiananmen Juni 1989 di Cina di mana Perdana Menteri Li Peng telah mengontrol sepenuhnya media massa, utamanya harian People’s Daily yang beredar ke luar negeri. Para penguasa dan petinggi Partai Komunis Cina lupa anak-anak mereka yang kuliah di Barkeley dan Stanford dan beberapa kampus di AS rajin mengirim kliping koran-koran AS kemudian dikirim melalui mesin faks yang tersebar luas di perkantoran Cina. Kaset rekaman dengan para aktivis mahasiswa juga dititipkan melalui jaringan televisi internasional.
Demikian pula yang terjadi pada Revolusi Iran pimpinan Ayatollah Rohullah Khomeini pada awal 1979. Para aktivis di luar negeri menggalang opini melalui selebaran dari mesin-mesin fotokopi yang oleh Majid Tehranian digambarkan sebagai Xerocracy Movement (berasal dari nama mesin fotokopi Xerox). Syah Iran Reza Pahlevi berhasil membungkam media-media konvensional, namun ia gagal menguasai media tradisional masjid dan pertemuan biasa. Alvin Toffler, futurolog komunikasi, menyebut PM Cina Li Peng dan Syah Iran Pahlevi gagal membendung serangan opini yang dibangun melalui media tradisional (first wafe) dan modern (third wave), (Powershift, 1990).
Apa yang bisa ditarik menjadi hikmah dan ibrah ? Bagi umat Islam seharusnya meyakini bahwa perang opini sudah berlangsung sejak zaman kenabian, khususnya Rasulullah Muhammad saw. Para kaum kafir senantiasa mengopinikan negatif setiap datang Rasul (QS Yasin :30). Muhammad saw bahkan oleh orang kafir dan munafik dilabeli orang gila (QS al Qalam ; 51) sementara Kitabullah mereka pelintir dan namakan tak lebih dari cerita fiksi (QS al Nahl :24). Sebaliknya, umat Islam harus mengimbangi dan melawan semua opini negatif dengan cara yang tegas dan tuntas (QS Taubah :73) serta tetap bersikap percaya diri dan tegar (QS ali Imran ; 139).
Demikian pula yang terjadi akhir-akhir ini di mana nonmuslim dan muslim yang sekular terus menebar opini negatif dengan jalan fitnah dan labelling beberapa ulama /ustadz yang teguh menegakkan keadilan (qa’iman bil qisth) haruslah diluruskan dengan menggunakan semua media komunikasi modern, konvensional dan tradisional. Terutama media masjid, forum keagamaan dan media sosial yang berdasarkan pengalaman teramat sulit dikendalikan penguasa yang selalu menggap gerakan Islam sebagai perintangnya. Yakinlah bahwa gerakan Islam akan makin solid ketika mereka lakukan dekonstruksi dengan jalan apa pun (QS as Shaff : 8). Allahu a’lam.
*) Jurnalis dan Dosen Komunikasi FISIP UPN Surabaya.