SOSIOLOGI POLITIK : Makna Kekuasaan dan Transformasi Politik

Sosiologi PolitikThis political sociology is a critical study of important issues relating to the authority or power, state relations and civil society, democracy and the formation of classical and contemporary society, elite and class studies, and stability and social instability. This study refers to the ideas of Hobbes, Montesquieu, Durkheim, Max Weber, Karl Marx, Althusser, Horkheimer, Gramsci, Alexis de Tocqueville, Vilfredo Pareto, Mosca Guetano, SM Lipset, H. Crough, FW. Riggs, C. Schmitter up Wright Mills, Liddle, Hefner, Fukuyama and many other great theoretician.

Buku sosiologi politik ini merupakan rangkaiankajian kritis tentang isu-isu penting berkaitan dengan kekuasaan atau power, relasi state dan civil society, demokrasi dan formasi masyarakat klasik maupun kontemporer, elite dan kajian kelas, serta kajian stabilitas dan instabilitas sosial. Kajian ini mengacu pada banyak pemikiran teoritisi seperti Hobbes, Montesquieu, Durkheim, Max Weber, Karl Marx, Althusser, Horkheimer, Gramsci, Alexis de Tocqueville, Vilfredo Pareto, Guetano Mosca, S.M Lipset, H. Crough, FW. Riggs, Schmitter hingga C. Wright Mills, Liddle, Hefner, Fukuyama dan sejumlah teoritisi besar lainnya.

Kekuasaan selalu menjadi ‘arena’ perburuan orang. Perburuan semakin ketat ketika melibatkan mereka yang berhak mengklaim diri sebagai bagian dari elite dan kelompok dominan –baik kelompok dominan dan elite politik, ekonomi maupun agama. Pasalnya, perburuan kekuasaan setidak-tidaknya seperti yang diyakini para penganut Darwinisme Sosial, dipandang bagian dari struggle for life. Manusia secara mendasar menempatkan diri sebagai satu spesies melawan spesies yang lain dan begitu pula sebaliknya. Kekuasaan di mata para penganut pemikiran kritis, bahkan dipandang sebagai titik tolak terjadinya dialektika –tesis, antitesis dan sintesis, atau meminjam istilah Weberian sebagai motive tindakan sebab (because motive) sekaligus motive tujuan (in order to motive). Kekuasaan di mata para penganut kritis dimanfaatkan untuk mengukuhkan cengkeraman terhadap privelese yang dimiliki oleh para elite sehingga mengekalkan dominasinya terhadap rakyat atau kelas yang tidak memiliki harta milik maupun alat-alat produksi.
Di zaman raja-raja Jawa, perburuan kekuasaan banyak melibatkan intrik dan bahkan menggunakan cara kekerasan yang melibatkan mereka yang di dalam maupun di luar Keraton. Kekuasaan di mata mereka bagaikan ‘sawah’ –sebuah unexpandable good, sebuah komoditi yang tidak bisa diperluas. Upaya untuk memperluas, tidak ada cara lain selain dengan cara mempersempit ‘sawah’ orang lain. Di sinilah perburuan kekuasaan sering menimbulkan ketegangan. Bahkan korban. Mangkurat I dikenal sebagai penguasa Jawa yang pernah menghimpun ratusan dan bahkan ada yang mengatakan ribuan ulama di alon-alon keraton. Mereka dianggap ancaman, lalu dibunuh. Perburuan kekuasaan tampaknya memang selalu berhimpitan dengan kekerasan. Namun, Sultan Agung (1613-1646) memiliki cara yang lebih menarik dan kompleks. Tidak hanya menggunakan cara penundukan (vassal) melalui kekerasan dan pengerahan militer. Sultan Agung juga menggunakan cara-cara yang cerdik, seperti cara politis, mitis dan juga magis-religius. Dengan cara itu, rakyat menaruh hormat. Semua orang lalu bersedia ndherek kersa dalem –ikut terserah kepada kehendak raja. Cara itulah yang disebut Antonio Gramsci, pemikir kritis asal Itali, dengan istilah hegemoni.
Sultan Agung dengan jeli melihat energi di balik agama. Di sana ada kekuatan yang dapat memperkokoh kekuasaan. Kekuasaan yang ia bangun di atas doktrin ‘keagungbinataraan’. Kekuasaan yang luas gung binatara, bau dendha anyakrawati –sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hokum dan penguasa dunia. Sang rajalah pemegang kekuasaan tertinggi di seluruh negeri –wenang wisesa ing sanagari. Untuk mengokohkan kekuasaannya, Sultan Agung mengundang ulama dari Mekah untuk mengukuhkannya sebagai seorang Sultan yang bergelar sayyidin panata gama, kalifatullah ing tanah Jawi. Dengan cerdik pula, Sultan Agung mengubah kalender Jawa dengan penanggalan Islam, sehingga orang Jawa kemudian mengenal nama bulan seperti Sawal, Selo, Besar, Suro, Sapar, Mulud, Bakda-mulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah lan Poso. Namun, prinsip penundukan (vassal) dan pertuanan (overlord) tetap saja tida k bisa dielakkan. Dianggap sebagai ancaman, Sultan Agung pernah mengirim ekspidisi penyerangan ke daerah para wali, di Giri pada 1635. Setelah itu Mangkurat II mene¬ruskan untuk menghancurkannya pada 1680.
Begitulah kalau saja kekuasaan dikonstruks seperti ‘sawah’ –komoditi yang hanya bisa diperluas dengan cara mempersempit ‘sawah’ milik orang lain. Konstruks kekuasaan dengan metafor ‘sawah’ itu tampak masih dijalankan oleh sementara penguasa di jaman Indonesia modern. Penundukan dan pertuanan masih dipelihara. Pemilu, sebagai wujud system demokrasi, bisa ‘ditekuk-tekuk’ sehingga tetap menghasilkan system kekuasaan yang diselimuti oleh nilai-nilai ‘kebinataraan’. Kekuasaan lalu digunakan untuk membatasi partisipasi. Kekuasaan lalu dimanfaatkan untuk memperbesar kewenangan. Kekuasaan bukan untuk menciptakan altruisme atau kebaikan bersama, melainkan untuk meneguhkan predikat homo politicus yang sekaligus homo economicus sang pemegang kekuasaan. Buku ini ditulis untuk dijadikan teman diskusi bagaimana sebenarnya kekuasaan itu harus dicari, dan dipergunakan. Kesejahteraan, kedamaian dan kesentausaan hidup bersama memang membutuhkan sejumlah kuasa. Namun, kuasa yang bukan disalah gunakan dan disalah artikan.
Buku ini telah penulis upayakan dapat diorganisasikan secara sistematik. Dimulai dengan memahami konstruks dan mode pengelolaan kekuasaan. Pembaca diajak mene-lusuri konstruks elite, Jawa dan juga pemikir Islam tentang Kekuasaan. Dari sini pula pem¬baca diajak melakukan refleksi energi politik atau kekuasaan yang diambil dari agama. Agama di mata penguasa, tidak saja sebagai payung suci, tetapi juga sebagai alat legitimasi . Pada bagian kedua, pembaca lalu diajak melakukan refleksi tentang kekerasan dalam mengelola kekuasaan. Dari sini pembaca diharapkan bisa menemukan akar kekerasan, mengenali pelaku dan ketidak pekaan moralitas elite –sehingga kekuasaan seakan tidak mungkin ditegakkan tanpa harus dikawal dengan kekerasan. Pada bagian ketiga, pembaca diajak untuk melihat Pemilu. Mengapa Pemilu? Pemilu adalah cara yang efektif untuk memberi kesempatan secara terbuka kepada rakyat memilih pemimpinnya. Pada awalnya demikian. Pemilu hendak dijadikan sebagai upaya memilih pemimpin yang adil. Pemimpin yang bisa mensejahterakan rakyatnya. Pemimpin yang dapat digambarkan sebagai ‘raja yang adil’ sehingga ‘rakyat rela menye¬mbah’. Namun, kalau ternyata yang terpilih adalah ‘raja yang lalim’ maka rakyat akan me¬nya-nggah dan memberikan perlawanan. Pada bagian keempat pembaca diajak untuk memasuki ranah pluralitas budaya. Budaya multicultural, sikap dan moralitas positif demokrasi, birokrasi yang transparan dan pluralitas keagamaan yang memiliki mekanisme konsensus, merupakan prasyarat yang amat dibutuhkan untuk membangun kehidupan yang dibangun atas dasar kesamaan, kesedarajatan dan rasa persaudaraan. Di bagian kelima pembaca diajak melakukan refleksi terhadap sejarah politik dan Indonesia dari masa Orde Baru dan memasuki reformasi. Dengan menelusuri apa yang telah dilakukan bangsa ini, diharapkan dapat diperoleh pencerahan yang dibutuhkan untuk membangun formasi sosial, ekonomi dan politik Indonesia ke depan. Artikulasi politik dari mayoritas penduduk negeri yang beragama Islam menjadi topik kajian di bagian keenam. Pembaca diajak untuk melakukan refleksi bagaimana Politik Islam diartikulasikanj oleh para aktifis dan semua komunitas Muslim di negeri ini. Komunitas ini pernah terpinggirkan. Namun, di kemudian hari, ruang publik semakin terbuka bagi partisipasi komunitas santri dalam ekonomi politik. Konstrain secara eksternal dan structural masih saja ada, namun tidak lagi seperti yang terjadi seperti pada masa kekuasaan di pegang rejim otoriter. Di jaman reformasi, di mana kekuasaan dikelola secara plural, komunitas muslim semakin berpeluang mengekspresikan identitas, aspirasi dan juga kepentingan politiknya.
Tulisan ini bermaksud membantu para mahasiswa, dosen dan juga para pemerhati yang tertarik untuk mempelajari dan mendalami ilmu politik, khususnya tentang kekuasaan dan perubahan politik di Negara berkembang seperti Indonesia. Para pengambil kebijakan, aktivis kemasyarakatan dan semua saja yang berkepentingan kerja praktis dalam dunia ekonomi politik, bisa memanfaatkan informasi yang tersaji dalam buku ini. Tentu saja masih banyak kekurangan. Penulis mengharap sidang pembaca memberikkan catatan dan komentar untuk kesempurnaan penulisan ini.(*)

ZM Penulis : Prof. Dr. Zainuddin Maliki, M.Si.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s